Telur ayam, kenapa jadi mata sapi
Puasa melatih kita untuk ikhlas.
Tidak berharap puja-puji dan apresiasi.
Sejenak, coba kita perhatikan nasib ayam. Capek-capek hamil (baca: bunting), capek-capek bertelur. Terus? Telurnya diambil dan dimasak. Adakah sedikit apresiasi pada ayam? Nggak ada. Jerih-payah itu dinamai telur mata sapi, hehehe. Ayam yang pasang badan, sapi yang dapat nama.
Untunglah si ayam sudah belajar ilmu ikhlas 😁
Ini pun terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Susah-payah sang ibu mendidik anaknya, tahu-tahu si ayah yang beroleh apresiasi. Kok bisa? Ya bisa. Ini sering terjadi pada ayah-ayah yang terkenal atau menjabat. Kalau anaknya pintar, orang-orang pada nyeletuk, "Pantesan anaknya pinter. Wong bapaknya anggota dewan."
Masalahkah ini? Mestinya nggak masalah bagi mereka yang berupaya untuk ikhlas. Tak berharap apresiasi, itulah bagian dari ikhlas. Termasuk kalau ada apresiasi yang salah alamat. Sama sekali tak pernah berkeringat, tahu-tahu apresiasi dia yang dapat.
Bagi kita, cukuplah apresiasi dari Yang Maha Kuasa. Bukankah dulu para pejuang nggak pernah kepikir dirinya bakal dianggap pahlawan? Berjuang, yah berjuang saja. Kalaupun kemudian kita beroleh apresiasi, jadikan itu tambahan motivasi untuk berbuat lebih baik. Bukan sesuatu yang diharap-harapkan.
Teman-teman setuju? 😊
Komentar
Posting Komentar